Sunday 31 July 2016

Karena Kami dan Sekolah Kami Bukan Teroris

Saya hanya ingin sedikit bercerita....

Tahun 2011 saya masuk ke SMAN Sragen Bilingual Boarding School (SBBS).

Tahun 2012 saya berkesempatan mewakili Indonesia dalam Olimpiade Geografi Internasional (IGeO) di Cologne, Jerman. Walaupun tidak daoat medali dan sakit hati, saya bisa dapat tambahan jalan2 di Brussels dan Paris selama 3 hari. Di tahun yang sama, saya mendapat medali emas dalam OSN Kebumian di Jakarta.

Tahun 2013 saya mendapat kesempatan lagi mewakili Indonesia dalam Olimpiadr Ilmu Kebumian Internasional (IESO) di Mysore, India. Dan alhamdulillah kali ini saya dapat mempersembahkan medali perak untuk negeri tercinta.

Tahun 2014 karena prestasi saya tahun sebelumnya, saya terpilih menjadi salah satu delegasi Outstanding Students for the World, sebuah program dari Kementrian Luar Negeri RI di Ottawa, Toronto, dan Quebec, Kanada. Saya bersama belasan anak bangsa yang memiliki prestasi internasional melakukan presentasi mengenai apa yang kami capai untuk mempromosikan nama Indonesia di depan sekolah, universitas, lembaga pemerintahan, dan organisasi internasional pada saat itu.

Tahun 2015 saya berangkat ke Korea Selatan untuk melanjutkan studi S1 saya dengan beasiswa penuh.


Saya tidak bermaksud menyombongkan diri atau memamerkan prestasi dan kesempatan yang telah diberikan pada saya dari Allah. Saya hanya ingin menunjukkan bahwa semua itu bisa saya dapatkan di SMA, yang sekarang dituduh oleh Kedutaan Besar Turki  berfiliasi dengan organisasi yang dicap teroris oleh pemerintahan Erdogan dan diminta ditutup. Saya yakin seyakin-yakinnya bahwa jika saya bersekolah di SMA negeri biasa lainnya, bisa jadi saya sekarang tidak akan hidup dan belajar di salah satu kota metropolitan terbesar di Asia. Dan percayalah, masih banyak siswa-siswa lain yang lebih hebat prestasinya dari saya di 9 sekolah "teroris" lainnya.

Dan saya pun masih bingung dengan tuduhan-tuduhan lain yang beredar di media massa. Saya sendiri belum pernah menonton video-video Gullen. Saya memang pernah disarankan membaca buku-buku karya Fetillah Gulen saat reading camp setelah ujian semester, tapi saya tidak pernah menemukan satu hal pun yang bersifat terorisme dan membahayakan negara. Dan coba pikirkan, berapa banyak sekolah di Indonesia yang mengalokasikan waktu seminggu hanya untuk membaca buku setelah semester berakhir? Pasti tidak banyak.

Saya sangat mengapresiasi Pemerintah RI yang melakukan cross check terlebih dahulu sebelum bertindak hingga akhirnya memutuskan tidak menutup sekolah-sekolah kami. Hanya saja, saya sangat menyayangkan orang-orang yang awam masalah ini, yang termakan apa-apa yang beredar di media, dan melontarkan berbagai tuduhan keji kepada sekolah-sekolah kami dan bahkan kepada pemerintah RI yang telah membuat keputusan yang adil. Dan saya tidak mengerti dengan orang-orang seperri ini. Dilihat dari sisi agama Islam, bukankah kita harus selalu mengecek segala berita yang kita dengar? Bukankah kita tidak boleh secara membabi buta mengikuti seseorang, termasuk seorang pemimpin? Bahkan khulafaur rasyidin, pemimpin umat Islam terbaik setelah Rasulullah saw, selalu meminta diingatkan oleh umat jika melakukan hal yang salah? Lalu dari sisi kebangsaan pun, apakah kita mau terpecah gara2 seorang pemimpin asing di negeri lain? Bukankah guru-guru dan siswa di sana juga adalah orang Indonesia?

Dan tahukah Anda semua, bahwa PASIAD dan organisasi pendidikan dari Turki di seluruh dunia pernah punya hubungan manis dengan Erdogan dahulunya? Ketika Festival Seni dan Kebudayaan Internasional yang digelar di Turki beberapa tahun lalu, Erdogan yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri memberikan sambutan dan mengungkapkan kekagumannya kepada organisasi2 tersebut. Namun itu dahulu, sebelum kasus korupsi anak-anak menteri-menteri di kabinetnya terbongkar dan Erdogan bangun bagai beruang yang mengamuk. Memang PASIAD dan sekolah-sekolah kami sudah tidak berhubungan lagi sejak 2015, tapi saya harap dengan mengungkapkan hal ini membuka pikiran-pikiran dan perspektif lain agar lebih bijak menghadapi isu ini.

Seoul
31 Juli 2016